Kamis, 31 Desember 2020

Sudah Ada Sejak Zaman Nabi, Larangan untuk Tidak Merayakan Tahun Baru

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
السَّلاَمُُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pembaca yang Insya Allah selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Semoga kita senantiasa selalu ingat dan selalu bertaqwa kepada Allah. Perayaan Tahun Baru Masehi adalah ritual pesta dari akhir tahun - hingga awal tahun yang telah membudaya hingga ke pelosok dunia. Akibat dari hal itu kebanyakan dari umat Islam pun jadi turut canggung, minder dan merasa aneh jika tidak merayakannya. Padahal dibalik itu semua tidak ada yang layak sama sekali untuk merayakan Tahun Baru, terlebih memang Nabi Muhammad ﷺ secara tegas melarang kita untuk merayakannya.

Larangan merayakan tahun baru diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan An-Nasa`i dalam kitab Sunan-nya :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan). Tanya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adha dan hari Fitri.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567).

Imam al-A’zhim Abadi menjelaskan bahwa dua hari yang dimaksud adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Keduanya merupakan dua perayaan Jahiliyyah. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan berdasarkan ketika matahari berada pada titik bintang haml/aries. Hari Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan hari pertama dari tahun tersebut.

Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru matahari (Masehi). Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas (‘Aunul-Ma’bud bab shalatil-‘idain). Ini berarti bahwa hadits di atas dengan tegas menyatakan perayaan tahun baru masehi sebagai perayaan jahiliyyah yang harus ditinggalkan, bukan diikuti meski dengan kemasan yang agak berbeda.

Dalam hal ini, shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr sampai menyatakan :

مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِينَ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوت حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم الْقِيَامَة

Siapa yang membangun rumah di negeri orang-orang musyrik, turut terlibat dalam perayaan Nairuz dan Mihrajan mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka sampai ia meninggal, maka kelak akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat. (‘Aunul-Ma’bud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah).

 Pernyataan Shahabat Ibn ‘Amr tersebut terkait sabda Nabi Muhammad ﷺ :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka. (Sunan Abi Dawud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah no. 4033. Al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani menilai hadits ini hasan).

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya, Iqtidla`us-Shirathil-Mustaqim, sebagaimana dikutip Imam al-‘Azhim Abadi dalam kitab ‘Aunul-Ma’bud menjelaskan bahwa hadits ini menyiratkan haramnya tasyabbuh dengan orang kafir. Imam Ahmad ibn Hanbal di antara yang berhujjah seperti ini. Hadits ini, menurut Ibn Taimiyyah semakna dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (orang yang dekat dan dicintai); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS. al-Ma`idah [5] : 51).

Fakta Ilmiah tentang perhitungan Tahun Baru Masehi 

Fakta ilmiah untuk perhitungan tahun baru masehi membuktikan “kebodohan” fatal perayaan tersebut. Sebab penentuan tahun dalam kalender masehi benar-benar tidak mencerminkan tahun yang sebenarnya. Klaimnya, kalender masehi dirujukkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari yang lamanya 365 hari 5 jam 48 menit 45,1814 detik. Kalau kemudian ditetapkan satu tahun 365 hari, tentu itu bukan tahun yang sebenarnya, sebab masih kurang sekitar 5 jam 48 menit 45,1814 detik untuk menuju ke tahun barunya.

Kekurangan tersebut kemudian dibulatkan oleh mereka pada tahun kabisat (setiap 4 tahun sekali) menjadi 366 hari dengan menambahkan satu hari pada Februari menjadi 29 hari (seperti pada tahun 2012). Itu pun untuk tahun yang yang bisa dibagi 100 (seperti tahun 1900) bukan tahun kabisat, kecuali bisa dibagi dengan 400 (seperti tahun 2000). Jadi kalau tahun baru dirayakan setiap tahun oleh bangsa Barat dan pengekornya pada tanggal 1 Januari jam 00.00, sebenarnya itu adalah perayaan palsu. Sebab pada jam tersebut hitungan sebenarnya belum genap satu tahun.

Hitungan menjadi genap satu tahun kalau sudah ditambahkan sekitar 6 jam untuk tahun pertama sesudah kabisat (contoh 2021. Tahun kabisat sebelumnya 2020). Jadi yang benar bukan jam 00.00 tahun baru pada 2021 itu, melainkan “sekitar” jam 06:00 pagi. Untuk tahun kedua sesudah kabisat (2022) “sekitar” jam 12.00, tahun ketiga (2023) “sekitar jam” 18.00, dan tahun kabisat berikutnya (2024) baru sekitar jam 00.00. Penyebutan “sekitar” itu disebabkan memang tidak bisa dipastikan, karena berdasarkan hitungan resmi dari mereka lebih dari 365 hari itu adalah 5 jam 48 menit 45,1814 detik atau kurang dari 6 jam. Tetapi itu semua tidak menjadi problem bagi para penganut kalender masehi, sebab mereka sudah tidak peduli dengan “kebenaran”, yang penting ramai yang merayakannya. Jadi sebenarnya jika mereka benar-benar ingin merayakan Tahun Baru 2021, semestinya bukan tanggal 1 Januari jam 00.00 wib, tetapi jam 06.00 pagi jika berdasarkan dari perhitungan kalender masehi dalam 1 tahun itu 365 hari 5 jam 48 menit 45,1814 detik.

Hal ini berbeda dengan penghitungan tahun Islam (Hijriah) yang didasarkan pada fakta yang sebenarnya. Satu tahun terdiri dari 12 bulan (QS. At-Taubah [9] : 36). Satu bulan itu sendiri didasarkan pada penghitungan yang sebenarnya, yakni dari mulai bulan sabit, bulan purnama, sampai bulan mati. Maka tanggal 1 Muharram, betul-betul mencerminkan bulan yang baru berumur 1 hari. Bulan Muharram 29 hari dan Shafar 30 hari, benar-benar menunjukkan usia bulan di kedua bulan tersebut yang 29 dan 30 hari. Sehingga kalender Islam tidak perlu dikoreksi dengan tahun kabisat. Berbeda dengan tahun masehi, tanggal 1 Januari tidak mencerminkan hari pertama dari bulan baru. [AW/PERSIS, Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I] Wallahu 'alam

Billahi fii Sabililhaq
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Disadur dari : www.panjimas.com (dengan sedikit perubahan pada contoh perhitungan kalender masehi)

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Terimakasih atas supportnya terhadap dakwah pada web ini. Mari terus dukung kami agar web ini tetap eksis dan berkembang

      Hapus