Jumat, 15 Januari 2021

Wafatnya 'Ulama adalah Musibah Yang Tak Tergantikan

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 
Masih dalam suasana duka karena kita baru saja kehilangan sosok yang sangat dicintai, walaupun belum pernah bertemu, belum pernah bertatap muka ataupun hanya sekedar mengobrol bersama pun belum pernah sama sekali. Namun kita mengenal beliau, kecintaan kita terhadap beliau begitu tinggi. Ya, beliau adalah Syaikh Ali Saleh Mohammed Ali Jaber atau yang lebih kita kenal dengan nama Syekh Ali Jaber. Beliau adalah Guru, Da'i, Ulama yang lahir di Madinnah dan kemudian hijrah ke Indonesia serta resmi menjadi Warga Negara Indonesia pada 23 Januari 2020. Beliau Wafat pada hari Kamis, 14 Januari 2021/1 Jumadil Akhir 1442 H sekitar pukul 08:38 WIB. Kita semua bersedih, berduka, merasa kehilangan mengingat beliau yang rela meninggalkan tanah kelahirannya demi berjuang dan menebarkan kedamaian Islam di Negeri kita Indonesia tercinta ini. Mari kita bersama-sama mendo'akan beliau, Semoga Allah merahmati dan meninggikan derajat Syekh Ali Jaber. Aamiin Yaa Rabbal 'Alamiin.

Kita semua tahu bahwa ulama merupakan Pewaris Nabi. Sehingga wafatnya seorang ulama berarti kita telah kehilangan satu lagi Pewaris Nabi. Ini adalah musibah bagi kita semua, dan bahkan ditegaskan oleh Nabi Besar Muhammad ﷺ dalam sabdanya :
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” [HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’]
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sendiri menyatakan bahwa jika ada yang tidak bersedih dengan wafatnya seorang ulama itu merupakan pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam :
مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik”
Nabi bahkan menyebutkan hingga 3 kali kata munafik ini yang berarti sangat penting sekali untuk kita telaah. Menangislah karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama dan Menangislah karena kita selama ini tidak mendengar ataupun tidak belajar dari mereka. Musibah ini akan sangat dirasakan oleh mereka yang haus akan ilmu, mereka yang senantiasa peduli dengan warisan kenabian.

Seorang Tabi’in, perawi yang hadistnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya :
إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.
Kesedihan yang sebenarnya bukan hanya karena kita ditinggalkan oleh jasadnya saja, melainkan ilmu tentang warisan kenabian, keteladanan, kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran, dan masih banyak lagi. Bisa diartikan kehilangan seorang ulama merupakan tecabutnya satu tonggak ilmu, Tertutupnya satu pintu Fiqh, Tercerainya seikat simpul ajaran, dan Terputusnya teladan Akhlaq. Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut :
‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ
“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.
Demikianlah sedikit ilmu yang bisa kita bagikan. Semoga kecintaan kita selalu tercurah kepada Allah Subahanaahu Wa Ta'ala, Nabi Besar Muhammad , para sahabat-sahabat Nabi, serta para ulama-ulama yang Lillahi Ta'ala. Mari bersama-sama kita do'akan para ulama yang telah mendahului kita untuk pergi ke kampung akhirat yang dimana kita kekal abadi didalamnya. Semoga Allah senantiasa merahmati mereka dan meninggikan derajat mereka, semoga ilmu-ilmu dari mereka bisa kita teladani serta semoga kita dikumpulkan kembali oleh Allah Subhanaahu Wa Ta'ala bersama mereka di Surga-Nya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin.

Billahi fii Sabililhaq 
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

0 komentar:

Posting Komentar